Monday 16 June 2014
Proses Hukum
Hingga hari ini tak
ada keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya ditembaki, ditangkap
semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan
harta bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas.
Masih
terang diingatan korban, bagaimana pada tahun 2006 Mahkamah Agung memperagakan
parade pembebasan hukum (Impunitas secara De Jure) terhadap sejumlah
nama yang seharusnya bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan
RA. Butar-Butar.
Kegagalan Peradilan
HAM untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya kinerja Penuntut
Umum.
Selain menghapus nama
(Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung
justru membuktikan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) pada
kasus Tanjung Priok dengan sistem pidana umum (Ordinary Crime) yang
berbasis pada KUHAP.
Kegagalan lain
diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas
negara dalam mendukung administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus
Tanjung Priok. Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi
yang memadai. Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok
terjadi antara pelaku dengan sejumlah saksi untuk mencabut kesaksian.
Pengadilan
HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap
para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan
kebenaran yang sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian
reparasi (Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung
Priok 1984.
Banyak
diantara para korban yang masih mempertanyakan keberadaan keluarganya yang
masih hilang. Banyak diantara para korban yang sampai hari ini harus menanggung
biaya pengobatan akibat atau efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September
1984 atau kekerasan-kekerasan berikutnya.
Banyak
diantara para korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya
akibat dirampas atau distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
Demikian
pula para korban yang masih anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Atau
anak-anak korban yang kehilangan ayah atau kakaknya yang diharapkan menjadi
penopang ekonomi.
Usaha
pun tetap dilakukan oleh para korban lewat Pengadilan Negeri pada 28 Februari
2007 menuntut Pemerintah mengeluarkan dana kompensasi bagi korban. Namun,
lagi-lagi, Hakim tunggal Martini Marjan menolak mentah-mentah permohonan
Penetapan Kompensasi para korban dengan alasan tidak ada pelanggaran berat HAM
dalam kasus Tanjung Priok 1984.
Jelas
bahwa Hakim tunggal Martini Marjan Menegasikan fakta, penderitaan dan kerugian
yang telah dihadirkan dalam persidangan Penetapan di PN Jakarta Pusat.
Sampai
saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi yang telah diajukan sejak 5
Maret 2007.
Dewi Wardah isteri
Amir Biki, setia untuk tetap memperjuangkan keadilan terhadap kasus terbunuhnya
sang suami, Amir Biki.
Pada
tahun 1984 itu, jelas korban telah dikorbankan oleh kebijakan anti kritik
Soeharto dan brutalitas aparat keamanan. Pada era transisi politik, setelah
belas… bahkan puluhan tahun upaya koreksi pun tetap didominasi oleh pelaku.
Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan kondisi korban bahkan tidak diakui
adanya pelanggaran berat HAM.
Masyarakat
terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi korban sistem peradilan yang
tidak adil dan jujur. Transisi politik tidak digunakan untuk mengambil
pelajaran dari kegagalan dimasa lalu, sebagaimana yang terjadi pada kasus
Tanjung Priok.
Akan
tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung
jawaban pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun reparasi.
Disadur dari: www.indocropcircles.com
Sumber
dan Referensi:
• Buku
Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data,
Yogyakarta: Gema Insani Press
• Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, deedyienz@blogspot
• Latar belakang peristiwa Tanjung Priok, uphilunyue@blogspot
• Tanjung Priok Massacre, wikipedia.org
• 23 Tahun Peristiwa Tanjung Priok 1984: Pelaku dibebaskan, korban terus menjadi korban – kontras.org
• Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, deedyienz@blogspot
• Latar belakang peristiwa Tanjung Priok, uphilunyue@blogspot
• Tanjung Priok Massacre, wikipedia.org
• 23 Tahun Peristiwa Tanjung Priok 1984: Pelaku dibebaskan, korban terus menjadi korban – kontras.org
Tragedi
Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah
Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai peristiwa-peristiwa
yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu
tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik
menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal
yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang
disampaikan dalam ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para
mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil
kebijakan penguasa.
Mereka mengecam kebijakan pemerintah
yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah larangan memakai
jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan
sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah:
Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998
: 26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10
September 1984 ketika seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di
daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang.
Petugas keamanan berhasil menyelamatkan
diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun
menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan
sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib keempat orang yang
ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka
ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984.
Pada saat itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin
dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko,
M. Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu.
Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman
pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju
Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008
(Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju
Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan.
Ia juga berpesan agar selama
perjalanan, massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh
para mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat
pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara
massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat
dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan aparat.
Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa
tersebut.
Regu keamanan berusaha membubarkan
massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang
membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan
keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat
mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah
membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan
tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun
tidak dapat dihindari.
Setelah datang pasukan keamanan
lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa
rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian
gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam
kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah
usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata
tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu.
Proses Hukum
Klik:
Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian Kaum Muslimin Oleh ABRI - Bagian 4
Kronologi
Pembantaian
Kronologi
Pembantaian Kaum Muslimin Oleh Bala Tentara pada Tragedi Tanjung Priok Berdarah
1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani, salah seorang ulama yang
dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung
Priok.
Karenanya,
ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh
masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa
Tanjung Priok.
Berikut
adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok
12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh
Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Sabtu,
8 September 1984
Dua
orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala
as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram
pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan).
Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan
Sindang.
Ahad,
9 September 1984
Peristiwa
hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran
masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan
penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.
Senin,
10 September 1984
Beberapa
anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas
Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang
akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan
lewat yaitu Syarifuddin Rmbe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir
masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah, berusaha
menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke dalam
sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat.
Ketika
mereka sedang berbicara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua
pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya
persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran
tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara
usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab
dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu tiba-tiba saja menarik salah
satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata seorang marinir dan membakarnya.
Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya
ditangkap aparat keamanan.
Turut
ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa’adah dan satu orang lagi
yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar
motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi
tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan pembebasan ke empat
orang yang ditangkap tadi.
Kodim,
yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera
melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk
Ketua Mushala as-Sa’adah tersebut.
Selasa,
11 September 1984
Pada
tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke
salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal
dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan
membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir Biki menyelesaikan
persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir
Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang
jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir
Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko
66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi
penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir
Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak berhasil dan sia-sia.
Rabu,
12 September 1984
Dalam
suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang
Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah,
terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang
bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan
tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya,
jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada
kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain,
“Mari
kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di
Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak
bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung
risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Dihadapan
massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar
membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila
tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Selanjutnya,
Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di
tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan
dari jamaah kita).”
Saat
ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju
kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi
dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Musholla As-Sa’adah
Tg Priok (circa 2010)
Kelompok
Yang Menuju Polres
Setelah
sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang
oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata
otomatis di tangan. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara
yang siap tempur.
Pada
saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah
dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar
mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir.
Sesampainya
jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak,
“Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan
pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Saat
itu militer mundur dua langkah, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah
suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong
senjatanya ke arah demonstran, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan
sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang
lebih tiga puluh menit!
Jamaah
pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris, tersungkur berlumuran
darah. Beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada! Disaat para demonstran
yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang sama
juga mereka diberondong senjata lagi.
Malahan
ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing
ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang
dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tak
lama berselang datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan
menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan. Dia buah mobil truk besar
beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas
mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke
sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir
jalan.
Lebih
mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang
tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh
mobil truk tersebut.
Jeritan
dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas
oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi
jalan.
Dari
atas truk tentara dengan membabi buta masih menembaki para demonstran. Dalam
sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah
darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari
menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.
Setelah itu, truk-truk besar itu
berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang
bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni.
Dua
buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena
tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sembari para tentara mengusung
korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar
suara tembakan tanpa henti.
Semua
korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah
sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok.
Sesudah
mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama
kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang
bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya,
sampai bersih.
Kelompok
Yang Menuju Kodim
Sementara
itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir
Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang
oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan
perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu
jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian
itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar.
Melihat
kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi
panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan
peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi
syahid.
Penghuni toko
onderdil mobil yang menjadi korban di Jalan Jampea, Tanjung Priok setelah
kerusuhan Tanjung Priok, Jakarta, 1984. [ TEMPO/Ilham Sunharjo; 35B/115/84;
20000621]
Saksimata
Menurut
ingatan salahsatu saksi yang belum tewas bernama Yusron, di saat ia dan
mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira
30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot
Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya
di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di
dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu
di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah
sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya
peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak terjadi apabila
PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha
untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar
kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan
seawal mungkin.
Hal
ini terjadi karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang
dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia
menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang
rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan,
menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13
September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira
pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Tragedi
Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah
Klik:
Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian Kaum Muslimin Oleh ABRI - Bagian3
Subscribe to:
Posts (Atom)
Search
Peduli Syam
Kunjungi Ane di Facebook
Popular Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.