Monday, 16 June 2014
Peristiwa
tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun 1984, merupakan
salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya masa
pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari awal
masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.
Kemiliteran
dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya
sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk
ideologi agama yang diakui di Indonesia.
Kekuasaan
penuh yang dimilki militer saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk
gerakan oposisi politik. Fungsi kekuasaan militer untuk melakukan tindakan
pemeliharaan keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk
legitimasi untuk dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif
tersistematif dan represif. Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu
sebagai tindakan pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan
melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM paling berat sekalipun.
Peristiwa
berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan
sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario
dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok.
Ini
adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan
kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku
dijadikan sasaran korban.
Terpilihnya
Tanjung sebagai tempat sebagai “The Killing Feld” juga bukan tanpa
survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi Tanjung
Priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah
basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh.
Mayoritas penduduknya tinggal
dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai dan kebanyakan
penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan.
Dengan
kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim
seperti itu, menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali
terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai
isu.
Suasana
panas di Tanjung Priok sudah dirasakan sebulan sebelum peristiwa itu terjadi.
Upaya
-upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan. Diantaranya,
pembangunan gedung Bioskup Tugu yang sering memutar film maksiat yang berdiri
persis berseberangan degan masjid Al-Hidayah.
Tokoh-tokoh
Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh
orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini
terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar Tanjung Priok.
Sebab,
di kawasan lain kota di Jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para
mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis Islam para mubalighnya bebas
sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal
Pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan Syarifudin Prawiranegara
sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk
perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama Tanjung
Priok.
Awal Mula Peristiwa,
kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara
Pada
pertengahan tahun 1984, beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang
mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas.
Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang mubaligh yang
terkenal, menyampaikan ceramah pada jama’ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi
topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi
masalah yang kontroversial.
Pada tanggal 7 September 1984, seorang
Babinsa beragama Katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang
bernama “Musholla As-sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang
berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin pada masa itu, dan disertai
pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang.
Tak
heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa
itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk
mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan
kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah menghina
kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan
menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.
Kronologi
Pembantaian
Klik:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Peduli Syam
Kunjungi Ane di Facebook
Popular Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment