Saturday, 10 May 2014
Perjalanan panjang ini terus menyesakkan, seolah menjadi permadani yang
terus bergelombang menyertai setiap frekuensi nafas.
Kesunyian itu belum
menjawab semua tantangan yang terlintaskan secara sengaja di mindset dulu.
Ketika melangkah beranjak dari kampung halaman, gambaran visi terlintas di
pikiran, akan bagaimana rasanya hidup dirantau, dan pasti akan lebih rumit dari
masa-masa hormat bendera.
Bidak-bidak tidak begitu mudah untuk digerakkan, bahkan butuh lompatan kuda
untuk menggempur pertahanannya. Itulah gambaran sulitnya berada pada kawasan
transisi, antara kehidupan anak sekolahan ke pintu seorang mahasiswa.
Ketika mereka sibuk meneropong shortcut-shortcut itu, penglihatan kembali
mempertanyakan visiku. Jika shortcut yang mereka pilih dapat meringankan
langkah mereka untuk mencapai hidup bahagia dan menghilangkan beban orang tua,
langkahku masih teguh sebagai seorang mahasiswa.
Ketika bidak pertama kugencarkan, sebuah temuan baru yang luar biasa
melintas didepanku. Betul kata senior, kehidupan kampus merupakan sebuah
miniatur kehidupan. Segala tipikal manusia ada didalamnya, mulai orang baik,
sedang maupun jahat. Jika engkau ingin menjadi orang baik maka banyak
lorong-lorong kebaikan yang ingin disalami, dan jika menginginkan alam hitam,
maka seperti meniup angin, .....
..sim salabim ..
... akan datang melabrakmu
Kehidupan rantauan seorang mahasiswa memang menyemarakkan segala kekuatan
mulai lahir sampai batin, mulai bersama saat-saat kelaparan karena terlambat
kiriman, sampai pada canda tawa sesama manusia berstatus mahasiswa yang menjadi
selir pengganti ramainya ruang keluarga di kampung halaman.
Maka saksikanlah, aku seorang mahasiswa. Masa 1/5 dekade ini telah
menggerogoti bayangan naluriku. Disiplin, tanggung jawab, berjiwa besar, sabar,
amanah, dan jurus-jurus lainnya, yang dulu hanya dipelajari di mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, kini bergiliran mengeroyokiku seakan tak peduli pada
tubuh kurusku yang mungil.
Menjadi mahasiswa “kupu-kupu” menolak keinginan peluncurku, karena hal itu
belum menjawab visi yang terlontar sesaat setelah menerima ijazah kemarin. Karena
kuliah bukan sekedar datang pagi dan menonton mantera-mantera yang terlontar
dari dosen, namun banyak taman-taman ilmu yang harus direbut, mulia taman
pendewasaan sampai taman penistaan.
Nusa ini telah merasakan kegagahan mahasiswa, ketika sang diktator terus
memuaskan diri dan mempertahankan singgasananya, ketika sang diktator itu
begitu berang, namun dia tak berkutik ditangan seorang manusia yang berstatus
mahasiswa. yah mungkin karena takut atau semcamnya...
Dinamika-dinamika ini tidak akan terlupakan, ketika engkau malu berlabuh di
kampung halaman karena nilai bulan sabit, disitulah jiwa jujur dan jiwa besar
nongol dipermukaan. Ketika pengumpulan tugas seakan-akan telah sampai di ujung tenggorokan,
maka taktik “Mencari Pembenaran” adalah jalannya. Dan ketika nyawa hampir
terlepas karena meluasnya area saku celana dan semakin ringannya dompet, dan
ketika bibirmu tersenyum karena sepatah kata embun penyegar jiwa dari orang tua
melalui pesawat kecil bernama handphone, maka jiwamu akan tersentak akan
keluarbiasaannya.
Selamat kepada anda yang telah mencapai shortcut-nya. Jangan mengira bahwa
menjadi mahasiswa itu membuang-buang waktu dan tumpukan kertas berharga orang
tua, namun disinilah persiapan menuju kehidupan yang sesungguhnya didapatkan. Kehidupan yang sempurna dan paripurna.
Disinilah jiwa “LAKI” terjawab,
Disinilah sarang-sarang kemandirian didapatkan,
Disinilah jiwa-jiwa yang lemah diuji,
Disinilah mental tisumu tergilas,
Dan..
Disinilah timbunan pengalaman berserakkan,,
Maka
saksikanlah aku seorang mahasiswa
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Peduli Syam
Kunjungi Ane di Facebook
Popular Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment