Monday, 24 June 2013
On 16:53 by Unknown in Cerpen No comments
Panjang
jalan di depan membentang dihamparan masa depan. Panjang
jalan di
belakang, kisah lalu dalam lembaran sejarah untuk dasar melangkah.
Aku
jejaki panjang jalan yang kisahnya masih menunggu kehadiranku.
Meneruskan
jalan panjang kisah lalu, karena aku adalah anak sejarah.
Melewati
masa kini, dan aku tinggal pergi. Aku kejar masa depan bersama
perjalanan
waktu.
Kini kaki
terus melangkah. Tak henti walau pandangan berat, terbebani.
Juangnya
adalah harap impian tercapai. Langkah yang panjang harus
terbekali
ketekunan dan kesabaran. Melewati sekumpulan manusia yang
turun-naik
dari kendaraan angkutan umum. Mendapati sekawan lama yang
terlahir
sebagai manusia. Ia adalah sekawan satu masa denganku. Aku sapa
ia.
“Hai,
pergi?”
“Hai
juga. Iya. Kau pulang?”
“Iya,
Pulang.”
Terlewatkan.
Aku lewatkan karena perjalananku sendiri yang terasa individu.
Sangat
individu. Impian pun berbeda. Perjalanan sejatinya niat keindividuan
kita
untuk menjalani kehidupan.
Aku
pandang. Berjejeran pedagang. Bertempat di kios-kios. Terlihat laris.
Laris
manis. Untung walau tak melimpah. Ada pula yang tak laris. Betapa
kehidupan
yang berjalan dan berjalannya kehidupan adalah seucap kata
“uang”. Pedagang
yang berjejer adalah buktinya nyata, mereka butuh “uang”.
Sampai
duduk mematung, menunggu pelanggan atau pembeli baru sampai
larut
malam, buktinya nyata mereka butuh uang. Mereka tak lagi
memandang
ilmu apa yang di dapat. Mereka lebih memandang “seberapa
mampu
mendapat uang?” Sungguh mereka senang bila keuntungan
melimpah
ruah. Tapi ini hanya pedagang kecil? Kemampuan pun kecil.
Mungkinkah?
Berjuang.
Terus berjalan penuh perjuangan. Hidup bukanlah perjuangan
belaka.
Hidup adalah perjalanan jiwa dan raga yang di dalamnya terselip
perjuangan
yang akan tetap mampu menggerakkan jiwa dan raga. Sehingga
keberhasilan
dalam perjalanan adalah kebahagiaan tiada tara. Mengingat
perjuangan
menggapainya yang bersusah-susah, berlelah-lelah, tersedih-
sedih.
Menjumpai
dan melewati. Terus menjumpai dan terus melewati setiap kisah
kehidupan.
Kini kaki hinggap pada pemandangan sekolah. Terdapat
sekumpulan
siswa korban aturan kedisiplinan. Di luar sekolah berkumpul
para
pelajar malas atau bernasib sial. Menunggu di luar sekolah sembari
sebatang
rokok terhisap oleh banyak siswa seakan inilah “kedewasaan
sejati”―dan
pedagang pun diam tak punya urusan. Terlihat, seorang siswi
dalam
kegiatan berhias diri, melihat cermin tak henti seakan inilah “penampilan
sejati”. Terlihat sepasang pelajar memadu kasih. Potret
pendidikan
warisan pendahulunya masih melekat membudaya.
“Ah...
aku jadi teringat di masa SMA. Dan teringat selalu di waktu itu.
Ingatanku
masih pulih. Mungkin karena sekolah selalu mendidik pada
kegiatan
menghafal.”
Lalu
perjalanan kaki membuatku menutup kembali kisahku yang dulu. Aku
beralih
pandang menatap kisah kehidupan yang lain. Ia hampir menyikut
perjalanan
kehidupanku. Aku terkejut. kaget. Ketakutan. Biar aku takut! Inilah
kemanusiaan.
“Dasar pengguna jalan yang tak beraturan! Peraturan lalu
lintas
hanya kisah lalu! Bedebah kau!” aku geram.
Aku rekam
kejadian itu. Itu kejadian buruk untukku. Aku jadikan sebagai
pelajaran.
Kembali aku lanjutkan. Lelah. Lelah dalam hidupku. Betapa
kehidupan
adalah perjalanan yang melelahkan. Jenuh. Apalagi di tambah
ulah usil
manusia yang tak beraturan. Makan hati. Lelah jiwa dan ragaku.
Aku
pelankan langkah. Langkah dalam pelan. Menenangkan keadaan dalam
perjalanan
hidupku. “Ada yang mau bantu aku?” Tapi semua diam. Tak ada
yang
menanggapi. Tapi karena memang aku hanya diam. Tak meminta
belas
kasihan. Sehingga semua itu harus berawal dari seucap mulut.
“Tapi aku
berikan bahasa isyarat pada orang-orang yang melewati
perjalananku.
Aku dalam lunglai, lelah. Mengapa mereka tak membaca
isyarat
bahasa tubuhku? Ah, mereka sudah tak peka dalam kehidupan
kesosialannya.
Mengapa harus berawal dari seucap mulut? Ah, Sudah lah,”
gumamku.
Aku
tetapkan tekad berjalan walau dalam lelah. Berjalan untuk menjalani
kehidupan.
Karena kita tidak akan hidup bila tak ada perjalanan. Bahkan
setelah
mati pun kita menempuh perjalanan baru yang melelahkan untuk
menjalani
kehidupan akhirat.
Jarak
sudah makin menjauh dari belakang jalan. Aku telusuri tiap-tiap rumah.
Sengaja
melihat salah satu seindah rumah. Rumah tokoh masyarakat.
Terkejut!
Aku terkejut menatap dalam kesadaran. Memang aku terbiasa
melewati
pemandangan rumah ini. Tapi ini terkejut! Tak seperti biasa. Ini hal
yang luar
biasa. Entah jalur resmi atau jalur asal jadi. Ia memanjakan dua
kekasih
diteriknya matahari. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua
istri.
Panas bertambah panas dalam hati. Entah lah. Yang jelas dua istri itu
tunjukkan
wajah tertawa. Mungkin terselip cemburu yang tertahan, tak
terungkapkan.
Entahlah. Yang jelas aku yang panas, cemburu. Kekasih satu
pun tak
ada di sampingku. Sehingga aku tetap berjalan dengan kesendirian.
Tak apa
lah.
Haus.
Lapar. Mereka menyerang tubuhku. Tak ada kata menunggu. Tapi
tubuhku
harus menunggu. Perjalanan masih lah jauh. Lumayan perjalanan
dalam
kejauhan. Keringat di punggung pun belum sempat aku keringkan.
Tunggulah
tenggorokan, tunggulah perut. Kalian akan segera terisi. Karena
aku
mengerti. kehidupan adalah rutinitas makanan dan minuman.
Perjalanan
menatap keramayan. Pertunjukkan? Bukan. Kegiatan tradisi.
tradisi
tujuh bulanan. Ia, itu benar. Tradisi tujuh bulanan hasil kolaborasi
yang
entah bagaimana asal mulanya. Selametan untuk si cabang bayi yang
sudah
menjalani kehidupan di ruang rahim selama tujuh bulan. Terlihat si ibu
cabang
bayi bermandikan air bunga. Bercampur dengan air tujuh sumur
yang
terpilih. Bercampur pula dengan bunga tujuh rupa. Entah bunga apa
saja.
Sembari diiringi puji-pujian, solawatan yang dilakukan para ibu-ibu.
Disambut
anak-anak, remaja, orang tua dan dari segala umur untuk meraup
uang
receh yang bertaburan.
Huft...
teringat waktu aku masih kecil. Tapi sekarang sudah dewasa. Sudah
menjadi
mahasiswa. Memiliki malu pula. Karena mahasiswa sudah di cap
sebagai
orang kritis. Padahal aku tidak. Tak henti-henti omongan orang
dewasa
yang berstatus mahasiswa melontarkan kritik pada tradisi hasil
kolaborasi.
Tapi aku tak menghiraukan. Aku malas membalas kritik. Yang
penting,
suasana hati meriah bahagia karena tradisi. Seakan ingin kembali
ke masa
kecil. Menjalani tradisi nusantara dengan polos dan lucu.
Pemandangan
meriah. Berubah. Entah cerita ini telah diatur sedemikian rupa
atau
memang tak disengaja. Yang jelas terlihat dua remaja berkelahi. Yang
satu dari
anak priayi yang satu lagi dari anak santri. Suatu pemandangan
yang tak
adil. Tak ada kuasa membalas bagi anak santri. Tapi bertubi-tubi
anak
priayi menghabisi. Akankah sampai terbawa-bawa tingkat derajat?
Sehingga
yang berderajat rendah mengalah, kalah. Ataukah karena ia tak
berani?
Ia seorang diri. Takut terancam di kemudian hari. Tapi yang jelas
beberapa
pemuda langsung memisahkan. Hanya cucuran darah anak santri
yang
masih berjalan melewati tiap pori-pori.
Mengerikan.
Lupakan. Tak penting. Perjalanan semakin mendekati masa
akhir.
Tapi kini melewati tempat manusia yang terpendam dalam tanah.
Karena
mati. Tentu. Bukan karena hidup. Aku berjalan sendiri. Suasana
kembali
sunyi. Tapi aku menikmati suasana ini. Memang tempat orang mati
pantas
dijadikan perenungan diri. Akan seperti apa kita nanti?
Aku
teringat Ayah. Ia meninggalkan perjalanan kehidupan bersamaku,
bersama
satu adikku, dua kakakku, pula meninggalkan perjalanan kehidupan
bersama
ibu tercinta... Waktu itu aku masih SMA. Aku berikan seucap salam
untuk
ahli kubur ini, pula kirimkan doa untuk ayah. Biarlah pengiriman doa
untuk
orang lain di lain waktu saja. Aku sedih. Tapi harus hilangkan sedih
segera!
Ya, Betul! Aku harus tegar!
Dekat
kuburan, sebelahnya terdapat gundukan sampah. Bau menyengat.
Aku
merasa terganggu. Suasana tenang, nyaman seakan kini terusik.
Sampah!
Dasar sampah! Masyarakat sering kali menjalani kegiatan
menyampah
ke tempat ini. Entah sudah berapa kali masyarakat mengulang-ulang
perbuatannya. Sampai kini, gundukan sampah makin menggunung tak
terurus.
Ini telah menjadi sampah masyarakat. Dan aku membandingkan
sekumpulan
manusia mati dan sekumpulan sampah. Aku pun tertawa geli
dalam
hati, “Hahahahaha...” Mungkin sama. Perbedaannya hanya pada
jiwanya.
Tapi, bila jiwa seperti sampah, bagaimanakah? Entah lah.
Pemandangan
kerinduan terlihat. Akhirnya impianku tercapai. Masuk istana
keluarga.
Aku makin merasakan siksa dari tema tentang “haus dan lapar”.
Aku
segera masuk. Aku segera membereskan keadaan yang masih berbau
dunia
perkuliahan. Segera aku menjalani bekal diri untuk menyambut
peristirahatanku.
Agar dunia impian nampak indah.
Kini aku
semakin merasakan tak kuat dalam kesadaran. Aku rebahkan
tubuhku.
Pelan tapi pasti aku tak sadarkan diri dari kehidupan dunia. Aku
pergi ke
dalam kehidupan lain. Nampak begitu berbeda. Dan dalam
kehidupan
baru, aku tetap bisa menjalani perjalanan kehidupan dengan baik
karena
terbekali makanan dan minuman.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Peduli Syam
Kunjungi Ane di Facebook
Popular Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment