Monday, 16 June 2014
Tragedi
Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah
Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai peristiwa-peristiwa
yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu
tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik
menekan Islam”.
Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal
yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang
disampaikan dalam ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para
mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil
kebijakan penguasa.
Mereka mengecam kebijakan pemerintah
yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah larangan memakai
jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan
sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah:
Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998
: 26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10
September 1984 ketika seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di
daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang.
Petugas keamanan berhasil menyelamatkan
diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun
menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan
sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib keempat orang yang
ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka
ditolak.
Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984.
Pada saat itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin
dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko,
M. Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu.
Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman
pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju
Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008
(Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju
Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan.
Ia juga berpesan agar selama
perjalanan, massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh
para mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat
pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara
massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat
dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan aparat.
Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa
tersebut.
Regu keamanan berusaha membubarkan
massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang
membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan
keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat
mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah
membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan
tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun
tidak dapat dihindari.
Setelah datang pasukan keamanan
lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa
rumah, dan apotek.
Sekitar tiga puluh menit kemudian
gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam
kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah
usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata
tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu.
Proses Hukum
Klik:
Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian Kaum Muslimin Oleh ABRI - Bagian 4
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Peduli Syam
Kunjungi Ane di Facebook
Popular Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment