Catatan Perjalanan Hidup Seorang Pemuda Muslim

Friday 19 September 2014

On 22:11 by Unknown in , , ,    No comments

Sarungku bergetar saat sedang asik-asiknya merasakan angin sepoi dewa mimpi. Ternyata ada adik yang mengoncang tempat tidur untuk membangunkanku, diperintah ibu katanya untuk segera cuci muka.

Langkahku malas sampai tercium aroma gado-gado, entah pencampuran aroma apa yang terhirup. Kepulan asap terlihat dari atas sebuah benda yang terbuat dari tanah, dupa ternyata. Aroma yang tercium ternyata adalah perpaduan antara aroma sederetan gorengan dan aroma dari kulit langsat yang di bakar oleh seorang pria tua berkopiah nasional.

"Cepatmi cuci mukamu, kita haroa mi ini"

Sebuah perintah dari kakak tertuaku dengan bahasa berdialek khas Buton. 
Baru sadar, ternyata hari ini adalah schedulenya haroa maludhu.

Tudung saji berbungkus mukena putih diletakkan ditengah-tengah konferensi duduk bundar keluarga kami yang dipandu oleh seorang pria tua yang terkenal dengan sebutan lebe. Yah, itulah sebutan untuk pemuka agama, yang biasa memimpin sebuah ritual adat didaerah kami.

Dalam ritual haroa, tudung saji yang diletakkan di tengah-tengah majelis berisi sederetan kuliner khas adat Buton, seperti onde-onde, sanggara (pisang goreng), cucuru (cucur), bharuasa (kue beras), bholu (bolu), kaowi-owi (ubi goreng) dan pelengkap yang lainnya. Dengan sepiring nasi minyak bertutup telur ditengah talang dalam tudung saji tersebut.
Kata ibu, semua sajian ini memiliki makna tersendiri.

Tradisi haroa diawali dengan pembacaan ayat-ayat khusus oleh sang lebe, dan diakhiri dengan santap bersama. Disinilah makna haroa sesungguhnya, yakni menjalin hubungan sosial diantara manusia, karena tradisi ini biasanya menghadirkan seluruh anggota keluarga dan beberapa tetangga.

Setelah ritual ini berakhir, saya coba menghampiri sang lebe yang sedang asik bermain dengan amplop kecil pemberian tuan rumah. Pertanyaan saya seputar makna haroa yang lain. Beliau menjawab bahwa haroa bukan sekedar menjalin silaturahmi antara keluarga dan tetangga, namun dengan keluarga yang telah ditinggalkan dan maha pencipta.

Mendengar wangsit sang lebe, saya bertekad untuk melestarikan tradisi ini hingga berkeluarga dan seterusnya InsyaAllah.

Tradisi adat haroa diadakan tiap tahun dengan beberapa penanggalan atau waktu-waktu tertentu tergantung yang telah ditetapkan oleh adat. Saya coba bertanya kembali kepada sang lebe,
kapan saja haroa diadakan?

Berikut pemaparannya

Pekandeana anana maelu

Haroa ini diadakan setiap tanggal 10 Muharram. Tanggal 10 Muharram dirayakan oleh para sufi dengan tersedu-sedu. Pada hari ini, cucu Rasulullah, Hussein bin Ali, dibantai bersama seluruh keluarga dan pengikutnya. Makanya, di kalangan penganut ahlul bayt, tanggal 10 Muharram senantiasa dirayakan agar menjadi pelajaran bagi generasi penerus.

Ketika Hussein wafat, maka putranya Imam Ali Zainal Abidin (atau dalam sejarah dikenal sebagai Imam Sajjad karena saking seringnya bersujud) menjadi yatim. Dalam bahasa Buton, yatim disebut maelu. Demi memberi kekuatan bagi Imam Ali Zainal Abdiin agar tegar dalam meneruskan amanah Rasululah untuk menegakkan agama Islam, orang-orang Buton mengadakan haroa pekandeana anana maelu (makan-makannya anak yatim).

Pelaksanaannya adalah dengan cara memanggil dua orang anak yatim berusia 4 sampai 7 tahun (sesuai umur Imam Ali). Kemudian dari kalangan keluarga yang melakukan upacara, secara bergiliran ikut menyuapi dua anak tersebut. Sesudahnya, mereka diberi uang sekedarnya. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam. Saya meyakini tradisi ini menunjukkan kuatnya tradisi sufistik di masyarakat Buton sejak masa silam.

Haroana Maludu

Haroa yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita gembira yang menjadi berkah bagi semesta. Muhammad adalah representasi dari sosok yang membawa jalan terang bagi manusia. Untuk itu, kelahirannya dirayakan dengan haroa dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut adat Buton, haroa tersebut dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk kalangan masyarakat biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari bulan Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan Rabul Awal.

Masyarakat menjalankannya setiap tahun dengan membaca riwayat Nabi Muhammad. Kadangkala selesai haroa, dilanjutkan dengan lagu-lagu Maludu sampai selesai, yang biasanya dinyanyikan dari waktu malam sampai siang hari.

Haroana Rajabu

Haroa ini dilakukan untuk memperingati para syuhada yang gugur di medan perang dalam memperjuangkan Islam bersama-sama Nabi Muhammad SAW. Haroana Rajabu dilakukan pada hari Jumat pertama di bulan Rajab dengan melakukan tahlilan serta berdoa semoga para syuhada tersebut diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah.

Malona Bangua

Haroa ini dilaksanakan pada hari pertama Ramadhan. Pada masa silam, hari pertama Ramadhan dimeriahkan dengan dentuman meriam. Kini, dentuman meriam itu sudah tidak terdengar. Masyarakat merayakannya dengan doa bersama di rumah serta membakar lilin di kuburan pada malam hari.

Qunua

Upacara yang berkaitan dengan Nuzulul Qur’an (Qunut). Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan suci Ramadhan atau pada 15 malam puasa. Dulunya, masyarakat memeriahkannya dengan membawa makanan ke masjid keraton dan dimakan secara bersama-sama menjelang waktu sahur. Qunua dilakukan usai salat tarwih dan dirangkaian dengan sahur secara bersama-sama di dalam masjid.

Kadhiri

Upacara yang berkaitan dengan turunnya Lailatul Qadr di bulan suci Ramadhan. Upacara ini tgata pelaksanannya mirip dengan Qunua, yakni setelah salat Tarwih dirangkaikan dengan sahur secara bersama-sama di dalam masjid. Biasanya dilaksanakan pada 27 malam Ramadhan karena diyakini pada malam itulah turunnya Lailatul Qadr.

Demikian sedikit pemaparan tentang time schedule haroa, dan seluk beluknya.
Masih banyak ritual adat yang syarat makna di Buton, seperti dhole-dhole, dan yang lainnya. Insya Allah akan di bahas pada postingan selanjutnya.


Baca Juga


 

0 comments:

Post a Comment