Catatan Perjalanan Hidup Seorang Pemuda Muslim

Monday, 5 January 2015

On 18:36 by Unknown in    No comments


Di Remix dari www.nyunyu.com
Legenda tentang polisi tidur mengambil setting di abad pertengahan, di mana saat itu Indonesia sedang kacau-kacaunya, dilanda prahara, kerusuhan di mana-mana. Waktu itu kepolisian negara kita belum sebesar sekarang ini, dan juga belum terorganisir secara baik, sehingga proses perekrutan anggotanya masih berantakan.

Alkisah ada seorang pemuda bernama Anton. Anton terlahir dari keluarga miskin, sangat miskin. Namun keluarga Anton ini miskin bukan sembarang miskin, melainkan miskin karena idealisme. Ayah Anton adalah seorang profesor antropologi lulusan universitas ternama di Bordeaux, Perancis, dan ibunya adalah seorang doktor honoris causa di bidang teknik nuklir.

Asal muasal mengapa pemuda itu diberi nama Anton pun ada sejarahnya. Konon dulu ketika masih muda, orang tua Anton terkenal sebagai penguasa tongkrongan. Dari satu tongkrongan ke tongkrongan lainnya hampir semua mengenal orang tua Anton. Hingga suatu saat ketika menikah dan punya anak, dia ingin agar anaknya kelak meneruskan jejak orang tuanya sebagai penguasa tongkrongan.

Maka disematkanlah nama Anton, singkatan dari: Anak Tongkrongan.

Konon keluarga Anton memilih untuk memiskinkan diri mereka karena mereka ingin mencari tantangan dalam hidup, sebab kaya itu sudah terlalu biasa, terlalu mainstream kalo kata anak-anak masa kini. Luar biasa memang keluarga Anton ini, di saat orang-orang lain berlomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, dia malah memilih untuk mengurangi harta.

Agak-agak gila lebih tepatnya.

Pada masa itu, setiap bulannya kepolisian selalu mengadakan evaluasi untuk menilai kinerja para anggotanya. Kegiatan evaluasi itu diberi nama NGOMPOL, singkatan dari Ngomel-ngomelin Polisi. Mengapa namanya seperti itu? Karena sesuai dengan kegiatannya, yaitu ngomelin para anggota kepolisian yang kerjanya dinilai kurang becus, terutama para polisi yang bertugas di lapangan.

Salah satu yang paling sering kena omelan adalah si Anton. Anton ini memang cukup teledor anaknya, walaupun mungkin kurang pas bila menyebutnya dengan kata teledor, sebab Anton ini lebih ke arah santai. Ya betul, Anton itu orangnya santai sekali, dan masa bodo amatan.

Pernah suatu ketika, si Anton diberi perintah oleh komandannya untuk bertugas di lapangan. Dasar si Anton entah polos atau bego, dia pun menuju ke lapangan. Maka bertugaslah dia di sana. Konon kabarnya Anton sangat tegas ketika bertugas di lapangan pada saat itu. Namun yang mengherankan adalah, setegas-tegasnya dia bertugas di lapangan, pada akhirnya dia tetap mendapat omelan juga.

Usut punya usut, ternyata Anton bertugasnya di lapangan futsal. Jadi wasit.
Luar biasa, luar biasa blo’onnya.

Namun siapa yang menyangka, kalau sifat Anton yang sangat santai dan masa bodo itu justru membawanya ke tingkatan yang sangat tinggi, hingga dirinya menjadi legenda di kepolisian, bukan cuma di Indonesia, melainkan di seluruh dunia.

Kita semua tahu bahwa di atas langit masih ada langit, dan di bawah tanah masih terdapat berlapis-lapis kerak bumi. Begitu pula dengan sifat manusia, di antara semua orang yang cuek, ada yang lebih cuek lagi, dialah si Anton. Bahkan saking cueknya, Anton pernah menyabet penghargaan Cuek Man Of The Year dari majalah Gakepake.

Kecuekan Anton bukannya tanpa sebab, dia beranggapan bahwa segala permasalahan jangan diambil pusing, sebab itu tidak perlu. Menurut dia biarlah segala sesuatu mengalir apa adanya, biar waktu yang akan menjawab. Sehingga setiap kali bertugas, Anton selalu santai dan cuek dalam menghadapi berbagai kasus kejahatan.

Pada suatu hari di ibu kota Indonesia, pecah kerusuhan yang sangat besar, sehingga memaksa pihak kepolisian untuk menerjunkan semua personelnya ke seluruh area kerusuhan. Tak disangka-sangka, kerusuhan itu pun semakin meluas, tersebar ke hampir seluruh wilayah kota. Pihak kepolisian pun kewalahan, karena pada saat itu anggota kepolisian baru sangat sedikit, hanya ada sekitar 12 orang personel. Itu pun 2 orangnya sebenernya cadangan.

Sejumlah 12 orang polisi itu punya julukan tersendiri oleh media pada saat itu mereka dinamai sebagai The Twelve Monkeys.

Maka disebarlah 12 orang polisi itu, masing-masing ditempatkan di titik-titik kerusuhan. Kebetulan pada saat itu kerusuhannya tersebar di 12 titik ibu kota, sehingga bila dilihat dari pantauan udara melalui helikopter, visualnya akan seperti ini:
. . . . . . . . . . . .
(Ada 12 titik)

Secara tidak sengaja, Anton mendapat tugas untuk menangani wilayah yang paling rusuh, sangat rusuh. Mungkin perbandingan yang paling pas untuk wilayah kerusuhan yang dipegang oleh Anton adalah wilayah Normandia ketika disambangi oleh Easy Company, seperti yang digambarkan di mini seri Band Of Brothers produksi Tom Hanks dan Spielberg. Dan lu harus nonton itu seri, soalnya seru abis, seri yang seru, ada sepuluh episode. Dulu gua punya satu box set, eh ilang dipinjem gak tau kemana. Kok curhat?

Kembali ke cerita...
Dan Anton hanya sendirian menghadapi itu semua.

Pada masa itu, alat telekomunikasi belum secanggih jaman sekarang. Masih susah dan tradisional, menggunakan telepon benang, itu tuh yang pake kaleng susu bekas disambungin pake benang kasur warna putih.


Sehingga komunikasi yang dilakukan oleh The Twelve Monkeys pun agak-agak ribet, karena setiap orang harus membawa 11 telepon kaleng untuk masing-masing orang.

Maka saling bertukar kabarlah The Twelve Monkeys, masing-masing menanyakan kondisi dan kabar terkini yang sedang mereka tangani. Kesemuanya melaporkan tentang bagaimana jibaku dan kewalahannya harus menghadapi kelompok perusuh di wilayah masing-masing, sendirian. Semuanya saling memberikan informasi satu sama lain. Semuanya, kecuali satu orang, yaitu Anton.

Para anggota The Twelve Monkeys pun kebingungan, mereka khawatir dengan keadaan Anton yang tidak ada kabarnya sama sekali. Berkali-kali mereka memanggil Anton lewat telepon kaleng, namun tidak ada jawaban sama sekali.

Apakah benangnya putus?
Apakah kalengnya penyok?

Pertanyaan-pertanyaan kerap berdatangan di benak para anggota The Twelve Monkeys. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan Anton, apalagi mereka tahu bahwa Anton ditempatkan di wilayah kerusuhan yang paling brutal. Mereka tidak sampai hati membayangkan Anton yang hanya seorang diri harus menghadapi kebrutalan para perusuh di sana.

Lalu beberapa di antara mereka pun mulai menitikkan air mata, menangis, takut seandainya hal-hal yang tidak diinginkan sampai terjadi menimpa Anton. Bagaimana nanti mereka harus mengabarkan kepada orang tuanya?

Karena terdorong oleh rasa simpati yang sangat besar dan mendalam, maka 11 orang anggota The Twelve Monkeys pun bertempur mati-matian, masing-masing seorang diri menghadapi para perusuh di wilayah tugasnya, hanya bermodalkan kenekatan. Mereka tidak sabar ingin segera menghampiri Anton dan melihat bagaimana keadaan di sana. Mereka ingin menolong Anton.

Singkat cerita, 11 anggota The Twelve Monkeys itu berhasil menumpas para perusuh di wilayahnya masing-masing. Lalu mereka berkumpul untuk kemudian bersama-sama menuju wilayah tempat Anton bertugas.

Waktu itu kendaraan pendukung kepolisian masih sangat terbatas, dan kebetulan KAPOLRI saat itu adalah seorang pencinta olahraga, jadi kendaraan yang diberikan untuk personelnya adalah sepatu roda. Berangkatlah 11 anggota The Twelve Monkeys bersama menuju lokasi Anton berada, naik sepatu roda, konvoy bersama. Lalu sayup-sayup di udara terdengar lagu lawas berjudul “Magic,” liriknya yang sangat familiar terdengar merdu di telinga.

“Ow, ow, ow, it’s magic. You knooow...”

Namun kadang ekspektasi adalah jebakan kehidupan, dan prasangka adalah jebakan pikiran. Bahwasanya kenyataan di lapangan seringkali berbeda dengan apa yang ada dalam bayangan.

Sesampainya di lokasi tempat Anton bertugas, alih-alih siap tempur, yang didapat oleh 11 anggota The Twelve Monkeys hanyalah keheningan dan kekosongan yang teramat sangat. Memang di segala penjuru terlihat berantakan bekas kerusuhan yang dahsyat. Namun sekali lagi, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana, hanya ada keheningan yang mencekam.

Semakin bingunglah The Twelve Monkeys, apa gerangan yang sudah terjadi. Mereka pun beranggapan, jangan-jangan Anton sudah mati, dibantai para perusuh, lalu mayatnya diarak dan dibawa kabur untuk dijadikan umpan bagi singa-singa masai di Afrika Utara.

Hingga akhirnya, dari kejauhan salah seorang anggota The Twelve Monkeys melihat ada sesosok pria yang memakai baju dinas kepolisian, terbaring diam di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu, di sebuah warung yang sudah tutup, wajahnya ditutupi koran bekas.

Mereka semua langsung tersentak melihat pemandangan itu.

“Ya ampun boook... Jangan-jangan itu Anton cyiin...,” teriak salah seorang anggota The Twelve Monkeys yang kebetulan ngondek.

Mereka pun mengayuh kaki bersepatu roda dengan kecepatan menuju sosok itu, histeris, sambil menangis. Betapa tragis dan nahas nasib Anton, harus berakhir di tempat seperti ini. Sekali lagi mereka membayangkan tak sampai hati harus menyampaikan kabar duka ini ke orang tua Anton.

Kira-kira berjarak 50 meter lagi, The Twelve Monkeys menghentikan laju sepatu rodanya. Mereka berjalan perlahan, beberapa terlihat menutup mulut dengan sebelah tangan tanda tak mampu lagi berkata apa-apa, beberapa ada juga yang terlihat saling merangkul kawannya yang lain, yang lemas karena tak kuat melihat pemandangan menyedihkan itu.

Satu orang yang paling dewasa memberanikan diri mendahului teman-temannya. Dia mengayun sepatu rodanya dengan yakin, tatapannya kosong, dan pikirannya tajam menyiapkan diri dengan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi: Anton sudah tewas.

Sesampainya di hadapan tubuh Anton, anggota yang paling dewasa itu segera berlutut tepat di sampingnya. Belum berani menyibak koran bekas yang menutupi wajah Anton, matanya memilih untuk memperhatikan dengan seksama mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki Anton. Namun, belum sampai ke ujung kaki, matanya terhenti di bagian perut. Dan betapa terkejutnya dia saat itu.

Perut Anton bergerak turun-naik dengan tenang, tanda ia masih bernafas. Anton masih hidup! Dia sedang tidur! Mungkin dia kelelahan.

Belum sempat selesai terkejut, mata anggota dewasa itu dengan sigap langsung menangkap pemandangan baru, ada sepucuk kertas yang terlihat seperti sengaja diselipkan seseorang di bawah pinggang Anton. Dari ujungnya, ada tiga huruf yang tidak terhalang pinggang, ditulis dengan spidol hitam tebal, bertuliskan “POL.”

Tanpa pikir panjang, anggota dewasa itu sudah tahu kalau itu adalah potongan kata dari “POLISI.”

“Jangan-jangan, ini surat ancaman.” Anggota dewasa itu berbisik lirih ke udara.

Maka diambillah sepucuk kertas itu, ditariknya perlahan. Rasa penasaran yang terlalu besar memaksanya memilih untuk tidak membangunkan Anton saat itu. Dengan penuh keyakinan dia buka sepucuk kertas yang rupanya terlipat itu. Tulisan di dalamnya membuatnya sempat diam dan bingung selama beberapa saat. Hingga akhirnya dia tersenyum, mengerti maskud tulisan itu. Tulisan itu berbunyi:

“POLISINYA GAK SERU.”

Kemudian dengan terharu, anggota dewasa langsung menyibak koran bekas yang menutupi wajah Anton. Dan tanpa kata-kata, dia peluk Anton saat itu juga. Konon kabarnya, kejadian ini juga adalah peristiwa yang kelak menjadi cikal bakal bromance.

Anton yang sedang enak-enaknya tidur pun merasa kaget, kenapa tiba-tiba ada yang memeluknya dengan kencang, cowok pula. Sempat dia berpikir jangan-jangan inilah yang dinamakan reup-reup setan.

Anggota dewasa kemudian berdiri, dan setengah berteriak memanggil teman-temannya yang lain.

“Woooy, buru sini. Anton masih idup!”

Anton yang mendengar hanya bisa berguman dalam hati.
“Lah, emang kapan gua mati?”

Setelah semua teman-temannya sesama anggota The Twelve Monkeys berkumpul, anggota dewasa kemudian menyuruh mereka berbaris rapi. Sambil kebingungan tak tahu apa yang sudah terjadi, para anggota The Twelve Monkeys pun menghomati perintah anggota dewasa untuk berbaris dengan tertib.

Lalu dengan elegan anggota dewasa meraih lengan Anton, mengajaknya untuk berdiri di sampingnya. Kemudian, dengan wibawa dan kedewasaannya, dia memberikan beberapa kalimat yang sangat penuh makna.

“Kawan-kawan sekalian, hari ini kita menjadi saksi sejarah. Betapa beruntungnya kita, seorang hamba manusia di dunia yang fana ini, masih bisa diberi kesempatan untuk melihat contoh nyata sesosok yang begitu cerdas dalam bertindak. Alih-alih menggunakan kekerasan, dia menggunakan akalnya untuk mengatasi kerusuhan sebesar dan sebrutal ini. Mari kita berikan penghormatan untuk teman kita, Anton!”

Anton pun cuma bisa bengong, tak tahu harus berkata apa. Dia pun lagi-lagi hanya bisa bergumam dalam hati. “Ini ngapa sih orang-orang? Nih kalo kecilnya gak disuntik cacar pada gini nih jadinya..”

Tepuk tangan pun terdengar dari para anggota The Twelve Monkeys. Anggota dewasa melanjutkan kata-katanya lagi.

“Hari ini Anton sukses mempraktikkan salah satu filosofi kepolisian dengan sangat baik, yaitu: mengayomi. Anton dengan cerdas dan penuh keyakinan memilih untuk tidak meladeni para perusuh, dia memilih untuk tetap tenang, dan percaya bahwa kekerasan tidak harus selalu dilawan dengan kekerasan. Mungkin Anton meyakini dengan pasti, bahwa bila api dilawan dengan api adalah kesia-siaan.”

“Wah, udah gila nih orang. Sakit lau sob!” kata Anton lagi-lagi dalam hati.

“Sebab pada akhirnya, sebebal-bebalnya dan sebrutal-brutalnya manusia, kalau dicuekin pasti sebal, dan pasti akan menggunakan akal pikirannya untuk instrospeksi, hingga menyadari kalau perbuatannya itu adalah salah dan melanggar hukum. Hingga kemudian meninggalkan perbuatan itu. Luar biasa Anton, kamu memang hebat. Saya tak menyangka.”

Maka sejak saat itu, nama Anton harum terdengar di mana-mana. Beberapa surat kabar top nasional berhiaskan headline dengan nama dan foto Anton terpampang di halaman muka. Tak lama berselang Anton pun diangkat menjadi KAPOLRI.

Sepucuk kertas bersejarah itu dipegang erat oleh Anton, selalu dibawa ke mana-mana oleh dirinya. Dia masih penasaran kenapa bisa sampai ada tulisan seperti itu. Sebab yang dia tahu hanyalah kenyataan bahwa dia tidur pulas saat itu.

Beberapa minggu berselang setelah pelantikannya sebagai KAPOLRI. Untuk menghilangkan rasa penasaran atas kejadian besar yang sudah mengubah jalan hidupnya itu, Anton merasa perlu untuk mencari tahu sendiri. Diam-diam, tanpa sepengetahuan siapa pun, dia menyambangi daerah tempat dimana dia bertugas dulu.

Dia langsung menyambangi rumah salah satu perusuh senior yang nama dan alamatnya sudah dia kantongi dari jauh-jauh hari sebelumnya. Sesampainya di sana, di dalam sebuah kontrakan sempit yang sudah terkunci rapat pintu dan jendelanya, dia berbicara empat mata dengan perusuh senior itu, namanya Bang Jek.

“Jadi Bang Jek, langsung aja nih. Sebenernya kayak gimana sih ceritanya, gua masih bingung nih. Soalnya kan gua pas sampe sono sebenernya mah kaga berani ngapa-ngapain. Lah elu serombongan rame bener, pada nenteng-nenteng senjata semua, mana berani gua,” kisah Anton.

“Mending gua tidur di warung pojok, mana pas banget itu gua baru abis makan rendang pas di jalan mau ke sini, sampe temen-temen gua pada nelepon gak gua angkat. Yaudah abis makan terus ngerokok terus rebahan kena angin, ya langsung pules. Eh bangun-bangun udah jadi pahlawan..”

Bang Jek berdehem memotong omongan Anton, lalu tertawa singkat,
“Hahahaha hahahah hahahaha. Elu tuh emang tai banget jadi orang!”

Kemudian suasana hening tercipta. Keduanya saling menatap tajam. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh detik keheningan terjadi, hingga Bang Jek meneruskan kata-katanya.

“Jadi anak-anak tuh pada sebel. Udah ngarep mau ribut ama polisi, eh polisinya yang dateng kayak elu bentukannya. Dateng celingak-celinguk kayak orang bego, ngeliat bangku nganggur eh seneng banget. Tau-tau udah pules aja.”

“Makanya anak-anak pada bete, sampe ada yang ngomong mau pensiun rusuh aja kalo gini caranya. Asal lu tau aja ya, digituin tuh rasanya gak enak banget, sedih tau, Ton. Ibarat kata jadi musisi terus manggung tapi gak ada yang nonton, sama aja bohong,” sambung Bang Jek. “Yaudah anak-anak gua bubarin aja, abis polisinya gak seru.”

Anton pun terharu mendengar ucapan Bang Jek, matanya deras menitikkan air mata. Lalu dengan penuh cinta dan kasih sayang, Bang Jek dipeluknya. Dia pun kemudian pamit pulang dengan senyum terkembang di wajahnya.

Sayangnya, karir Anton di kepolisian tak bertahan lama. Setahun berselang setelah perjumpaannya dengan Bang Jek, Anton meninggal karena sakit jantung. Yang tak lain itu adalah akibat karena dia sudah lupa daratan. Sebab setelah menjabat sebagai KAPOLRI, dia makin malas, kerjaannya sehari-hari hanya MADU RASA, makan-tidur-berak-sange saja.

Ada pepatah harimau mati meninggalkan belang, perawan mati meninggalkan lubang. Maka untuk mengenang jasa Anton yang dianggap sudah menanamkan sifat pengayom di tubuh kepolisian, sejak saat itu, kepolisian membangun banyak monumen yang disebar di seantero jalan. Berbentuk gundukan bulat memanjang, perlambang seorang polisi yang sedang tidur telentang.

Seiring waktu berjalan dan jaman yang semakin berkembang, kendaraan pun semakin banyak yang memenuhi jalan, kemacetan pun tak terhindarkan. Tak disangka, di masa depannya, monumen yang diberi nama Polisi Tidur ini ternyata sangat berguna membantu mengurangi angka kebut-kebutan di jalan. Hingga akhirnya diperbanyak di mana-mana.

Sungguh mulia diri Anton, sudah mati pun masih meninggalkan kebaikan tak berujung habis. Sangat layak dijadikan suri tauladan.

-TAMAT-



Itulah dia legenda asal muasal polisi tidur. Betapa dari kisah di atas, mengajarkan kita tentang banyak hal, bahwa hidup jangan terlalu diambil pusing, jalani saja. Dari polisi tidur kita juga bisa belajar, bahwa tanpa perlu tindak kekerasan, manusia akan menyadari kesalahan dengan sendirinya. Tanpa perlu ada sosok polisi yang bertugas, pada akhirnya yang ngebut akan memelankan kendaraannya dengan sendirinya.

Karena manusia memiliki akal pikiran. Untuk apa?

Untuk berpikir...

Berpikir...

Dan berpikir...

Sekian, wassalam. Namaste.

0 comments:

Post a Comment