Sunday, 21 September 2014
Seperti biasa, setiap akhir semester terpampang selembar plastik 1 x 3 meter didepan kami.
" . . . . . PEMBAYARAN SPP MULAI TANGGAL XX-XX-XXXX,
TERLAMBAT CUTI AKADEMIK . . . . . . "
Macetnya jalan depan kampus membuat gerah dan sepertinya kami akan terlambat untuk tiba di Bank pagi ini.
Sampai pada suara sendu mesin itu menyebut nomor antrianku, dan tiba saatnya untuk menyerahkan upeti atas masa belajarku satu semester kedepan.
Yah, setidaknya ada bukti bahwa upeti telah kubayar lunas, selembar kertas tisu berwarna kuning diberikan kepadaku dari si kasir bank yang cantik jelita.
Rincian 1 : SPP Nominal : Rp.xxx.xxx,00
Rincian 2 : PRAKTIKUM Nominal : Rp.xxx.xxx,00
Angka-angka itu bergandengan sambil terus kutatapi dan berharap akan sesuai dengan apa yang kudapat nanti.
Simpangan-simpangan pun berlalu, walaupun baru 2 sampai 3 yang kulalui.
Waktu berlalu sampai pada organ tubuh penghasil cairan empedu ini miris ketika mendengar celotehan sang dosen.
"Yah, minimal 200 ribu kalian harus berkorban"
Tahukah kamu, 200 ribu itu adalah sebuncah kertas bertuliskan BI yang akan kami keluarkan untuk melengkapi tugas proyek praktikum kami.
Ungkapan sang dosen terus mengaduk pikiranku. Kurebahkan diriku dalam bilik kosku. Pandanganku kosong memikirkan dalamnya saku celanaku. Tak maukah dia menunggu sampai 7 hari kedepan? ketika sang manusia setengah dewa di tanah asalku mengirimkan beasiswa bulanananya?
Dalam pandangan itu, sang kertas tisu mengintipku dari celah antrian buku di lemari. Seakan iba, akupun meraih tangannya dan berusaha untuk mengusap lipatannya yang telah mengkerut. Tulisan itu menampakkan diri tanpa salam, malah semakin menambah kegusaranku.
Pojok hitam kertas itu telah terasa selama 2 tahun, namun sang kertas tisu tak pernah merasa iba.
Apakah di harus bertangung jawab ketika tiap waktu aku harus menunggu kabar dari tanah seberang untuk mengirimkan biaya hidup? Tentu tidak.
Pojok hitam itulah yang harus menanggung.
" . . . . . PEMBAYARAN SPP MULAI TANGGAL XX-XX-XXXX,
TERLAMBAT CUTI AKADEMIK . . . . . . "
Macetnya jalan depan kampus membuat gerah dan sepertinya kami akan terlambat untuk tiba di Bank pagi ini.
Sampai pada suara sendu mesin itu menyebut nomor antrianku, dan tiba saatnya untuk menyerahkan upeti atas masa belajarku satu semester kedepan.
Yah, setidaknya ada bukti bahwa upeti telah kubayar lunas, selembar kertas tisu berwarna kuning diberikan kepadaku dari si kasir bank yang cantik jelita.
Rincian 1 : SPP Nominal : Rp.xxx.xxx,00
Rincian 2 : PRAKTIKUM Nominal : Rp.xxx.xxx,00
Angka-angka itu bergandengan sambil terus kutatapi dan berharap akan sesuai dengan apa yang kudapat nanti.
Simpangan-simpangan pun berlalu, walaupun baru 2 sampai 3 yang kulalui.
Waktu berlalu sampai pada organ tubuh penghasil cairan empedu ini miris ketika mendengar celotehan sang dosen.
"Yah, minimal 200 ribu kalian harus berkorban"
Tahukah kamu, 200 ribu itu adalah sebuncah kertas bertuliskan BI yang akan kami keluarkan untuk melengkapi tugas proyek praktikum kami.
Ungkapan sang dosen terus mengaduk pikiranku. Kurebahkan diriku dalam bilik kosku. Pandanganku kosong memikirkan dalamnya saku celanaku. Tak maukah dia menunggu sampai 7 hari kedepan? ketika sang manusia setengah dewa di tanah asalku mengirimkan beasiswa bulanananya?
Dalam pandangan itu, sang kertas tisu mengintipku dari celah antrian buku di lemari. Seakan iba, akupun meraih tangannya dan berusaha untuk mengusap lipatannya yang telah mengkerut. Tulisan itu menampakkan diri tanpa salam, malah semakin menambah kegusaranku.
Pojok hitam kertas itu telah terasa selama 2 tahun, namun sang kertas tisu tak pernah merasa iba.
Apakah di harus bertangung jawab ketika tiap waktu aku harus menunggu kabar dari tanah seberang untuk mengirimkan biaya hidup? Tentu tidak.
Pojok hitam itulah yang harus menanggung.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Peduli Syam
Kunjungi Ane di Facebook
Popular Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment