Sunday, 15 September 2013
On 23:42 by Unknown in Pendidikan No comments
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai
ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil membedakan manusia dengan hewan
meskipun antara manusia dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari
segi biologisnya. Kesamaan secara biologis ini misalnya adanya kesamaan bentuk
(misalnya kera), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan
menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anak, pemakan segalanya, dan
adanya persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filosof seperti Socrates
menamakan manusia itu zoon politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller
menggambarkan manusia sebagai das kranke tieri (hewan yang sakit) (Drijakara,
1962:138).
Kenyataan
dalam pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru,mengira bahwa
manusia dan hewan hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang
melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena
perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran
rekayasa pendidikan, orang hutan, misalnya, dapat dijadikan manusia. Upaya
manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia
telah ditemukan. Charles Darwin dengan teori evolusinya telah berjuang untuk
menemukan bahwa manusia berasal dari kera, tetapi temuannya ini ternyata gagal.
Ada misteri yang dianggap menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia
yang tidak sanggup diungkapkan yang disebut the missing link, yaitu suatu mata
rantai yang putus. Ada suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan. Jelasnya
tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai
bentuk ubah dari primata atau kera melalui proses evolusi yang bersifat
gradual.
2.
Wujud Sifat Hakikat Manusia
Ada
beberapa wujud sifat hakikat manusia yang yang tidak dimiliki oleh hewan. Wujud
sifat hakikat manusia ini dikemukakan oleh paham eksistensialisme dengan maksud
menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu:
1.
Kemampuan Menyadari Diri
Kaum
Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan itu, manusia
menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas. Hal ini menyebabkan
manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan
dengan yang bukan aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya
membedakan. Lebih dari itu manusia dapat membuat jarak dengan lingkungannya,
baik yang berupa pribadi maupun nonpribadi. Kemampuan membuat jarak dengan
lingkungannya berarah ganda. Kedua
arah yang terdapat dalam bagan di atas di dalam pendidikan perlu untuk
dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan
aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek
individualitas manusia.
Yang
lebih istimewa adalah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak dengan
dirinya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa yang
menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk
menyempurnakan diri. Si aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan
sebagai subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat
kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat
pada dirinya. Pada saat demikian, seorang aku dapat berperan ganda yaitu sebagai
subjek dan sekaligus sebagai objek. Hal inilah yang disebut dengan pendidikan
diri sendiri atau oleh Langeveld disebut self forming.
2.
Kemampuan Bereksistensi Diri
Selain
memiliki kemampuan menyadari diri, manusia juga memiliki kemampuan bereksistensi.
Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan menerobos dan mengatasi batas-batas
yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja yang berkaitan
dengan ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan kata lain, manusia tidak
terbelenggu dengan tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang),
tetapi dapat menembus ke sana, ke masa depan, atau ke masa lampau. Adanya
kemampuan bereksistensi yang dimiliki oleh manusia tentu saja terdapat unsur
kebebasan pada manusia. Jadi, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di
dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka
bumi (Drijarkara, 1962:61-63). Jika seandainya pada diri manusia itu tidak
terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, manusia tidak lebih dari hanya
sekedar esensi belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah
“meng-ada” atau “bereksistensi”. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui
pendidikan. Peserta didik perlu diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar
mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan
dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak kanak-kanak.
3.
Pemilikan Kata Hati
Kata
hati (conscience of man) juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk
hati, suara hati, pelita hati, dsb. Conscience bermakna pengertian yang ikut
serta atau pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang
menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan
mengerti juga akibatnya bagi manusia sebagai manusia. Pelita hati atau hati
nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang
memberikan penerangan tentang baik buruk perbuatannya sebagai manusia. Orang
yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan
tentang baik dan benar, buruk dan salah, ataupun kemampuan dalam mengambil
keputusan tersebut hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya sudut
kepentingan diri) dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi,
kriteria baik-benar, buruk-salah harus dikaitkan dengan baik-benar atau
buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dapat disimpulkan bahwa kata hati
adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik-benar dan yang buruk-salah
bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral (perbuatan), kata
hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati
yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan
forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan elatih akal kecerdasan dan kepekaan
emosi. Tujuannya agar orang memiliki
keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4.
Moral
Moral
merupakan suatu perbuatan yang menyertai kata hati. Dengan kata lain, moral
adalah perbuatan itu sendiri. Kadangkala antara moral dan hati masih terdapat
jarak. Artinya, seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu
perbuatannya itu merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri. Berarti dalam
hal ini diperlukan kemauan untuk menjembatani jarak di antara keduanya. Yang
dimaksud dengan kemauan adalah kemauan yang sesuai dengan kodrat manusia. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati
yang tajam adalah moral yang benar-benar baik bagi manusia. Sebaliknya, moral
yang yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam disebut dengan moral yang
buruk sehingga orang yang melakukan moral yang buruk ini disebut orang yang tak
bermoral. Moral disebut juga dengan etika. Selain etika, juga terdapat kata
yang pengertiannya sering disamakan oleh orang, yaitu etiket. Sebenarnya,
antara etika dan etiket tidakla sama. etika tidak hanya berkaitan dengan
perbuatan yang baik/benar, tetapi juga salah/buruk, sedangkan etiket hanya
berhubungan dengan soal sopan santun. Dengan demikian, berdasarkan perbedaan
pengertian antara etika dan etiket, dapat dikatakan bahwa orang yang etiketnya tinggi (bersopan
santun) bisa jadi moralnya rendah. Berkaitan dengan moral ini, dalam suatu
pembelajaran, peserta didik perlu diajarkan moral-moral-moral yang baik. Jika
ini tidak dilakukan, dunia pendidikan kita akan menghasilkan kaum intelektual
yang tak bermoral.
5.
Kemampuan Bertanggung Jawab
Tanggung
jawab berarti keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itu perbuatan itu dilakukan
sehingga sanksi apa pun yang dituntut oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh
norma-norma agama diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini
menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
6.
Rasa Kebebasan
Merdeka
adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini sebenarnya ada dua hal yang
saling bertentangan yaitu rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia”. Meskipun antara rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia” ini bertentangan, tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka
adalah rasa bebas, tetapi kebebasan tersebut tentu saja tidak bertentangan
dengan kodrat manusia. Orang tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan
petunjuk dari kata hati. Jika hal ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut
dengan kebebasan semu. Kebebasan semu segera diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa
sanksi-sanksi yang justru mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang
pembunuh yang habis membunuh berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri
(rasa tidak merdeka). Di sini terlihat
bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.
7.
Kebiasaan Melaksanakan Kewajiban Dan Menyadari Hak
Kewajiban
dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia
sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu,
tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Selanjutnya
kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya,
hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu itu
ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan
hukum). Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak
sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban
dipandang sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu
keniscayaan (Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut
dirinya manusia, kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu
artinya ia mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu
dilaksanakan, hal tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya
keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila
dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji,
melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dsb. Implementasi dari perbuatan ini
adalah orang akan merasa dikhianati, kecewa, dan akhirnya tumbuh sikap tidak
percaya. Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Sebagai
suatu keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia menjadi tidak merdeka.
Mau atau tidak harus menerima. Namun, terhadap keniscayaan itu sendiri manusia
bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia boleh memilih dengan konsekuensi jika
taat, akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan
merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan kewajiban ini
sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak dan
pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini
dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban.
Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan
kondisi, hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi, atau
harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan
keadilan.
8.
Kemampuan Menghayati Kebahagian
Hampir
semua orang merasakan kebahagiaan. Pengertian kebahagiaan sebenarnya tak mudah
dijabarkan meskipun mudah dirasakan. Terdapat beberapa kata yang bersinonim
dengan kebahagiaan, misalnya senang dan gembira. sebagian orang mungkin menganggap
bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira dikatakan sedang
mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi mengaanggap bahwa rasa senang hanya
merupakan aspek dari kebahagiaan sebab sifatnya lebih permanen daripada
perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagian
lebih merupakan integrasi atau rentetang dari sejumlah kesenangan. Malah ada
yang lebih jauh lagi berpendapat tidak cukup digambarkan sebagai himpunan dari
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan dan
sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi
dari semuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.
Peliknya persoalan mungkin juga karena kebahagian itu lebih dapat dirasakan
daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih
berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu, dikatakan bahwa kebahagiaan itu
sifatnya rasional padahal kebahgiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan
itu ternyata tidak demikian karena aspek kepribadian yang lain seperti akal
pikiran juga ikut berperan. Bukankan seseorang hanya mungkin menghayati
kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi objek rasa bahagianya
itu. juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya
tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini jelas bahwa penghayatan
terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar dan aspek rasa. Berarti
dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya
sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang
diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan
keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan
tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Menurut hemat penulis, konsep
kebahagiaan seperti yang disebutkan ini tampaknya dapat diterima. Kebahagiaan
pada dasarnya akan dapat dirasakan seseorang jika orang tersebut dapat
mengahayati suatu objek yang membuat dia bahagia. Objek ini sebenarnya tidak
hanya terbatas pada suatu hal baik yang dialami oleh seseorang, tetapi juga
pada suatu hal yang tidak baik. Sebagai contoh, sebuah keluarga yang yang
kemampuan ekonominya pas-pasan akan dapat merasakan kebahagiaan jika ia
menghayati kemiskinan yang dialaminya. Tidak sedikit orang yang hidupnya miskin
merasa tidak bahagia karena mereka tidak menghayati kebahagiaan itu. Barangkali
konsep “menghayati” ini sama dengan “bersyukur” jika dikaitkan dengan agama.
Selanjutnya apakah seseorang yang terlihat senang dapat dikategorikan sebagai
orang yang bahagia. Tampaknya pendapata ini tak dapat dibenarkan seratus
persen. Adakalanya orang yang terlihat senang sebenarnya tidak bahagia.
Kesenangan yang terlihat padanya hanya merupakan manipulasi terhadap orang
lain. Ia barangkali tidak ingin orang lain tahu bahwa dirinya menderita. Dengan
demikian, untuk menutup penderitaannya itu, ia memperlihatkan kepada orang lain
bahwa dirinya senang. Di atas telah
disebutkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri
secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang
diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan
keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan
tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Apakah yang dimaksud dengan
usaha, norma, dan takdir? Perhatikan bagan berikut ini.
Usaha
adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup
dengan menghadapi itulah realitas hidup.
Oleh karena itu masalah hidup harus dihadapi. Selanjutnya, usaha untuk
mengatasi masalah hidup itu harus bertumpu pada norma-norma yang berlaku dalam
agama dan masyarakat. Artinya, jika masalah hidup itu diatasi tanpa
memperhatikan norma-norma, orang tersebut tentu tidak akan mengalami hidup yang
merdeka. Dengan demikian, jika orang tersebut tidak mengalami hidup yang
merdeka, tentu dapat dikatakan bahwa ia tidak bahagia. Setelah manusia
mengatasi masalah dengan norma-norma yang berlaku, hal terakhir yang dapat
dilakukannya adalah menerima takdir. Takdir merupakan rangkaian yang tak
terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Ia erat berkaitan dengan rangkaian
usaha. Berarti seseorang baru dapat dikatakan sudah takdirnya jika ia telah
melalui dua rangkaian yang disebutkan tadi, yaitu usaha dan norma. Salah jika
ada orang yang menempatkan takdir lebih dahulu daripada usaha. Memang sakit
adalah takdir, tapi jika orang tidak berusaha untuk mengatasi sakit tersebut,
tentu kemungkinan besar sakitnya tidak akan sembuh.
Berkaitan
dengan wujud sifat hakikat manusia ini, sebenarnya menurut penulis masih ada
wujud sifat hakikat manusia yang lain yang tak dapat diabaikan, yaitukemampuan
berbahasa. Hal ini pula yang membedakan antara manusia dan hewan (Hidayat,
2006: 24). Artinya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa,
sedangkan hewan tidak. Akan tetapi, pernyataan ini janganlah disamakan dengan
ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat, yaitu bahasa binatang. Sebenarnya
yang dimaksud dengan manusia berbahasa, sedangkan hewan tidak adalah bahwa
hewan tidak memiliki karakteristik kebahasaan seperti yang dimiliki oleh
manusia. Karakteristik kebahasaan yang dimaksud, seperti unik, arbitrer,
sistematis dan sistemis, simbol, menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan
dengan bunyi-bunyi segmental, mengandung kriteria semantis atau fungsi semantik
tertentu, terbatas dan relatif tetap.
3.
Dimensi-dimensi Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya
3.1
Dimensi Keindividualan
Dikatakan
oleh Lyson bahwa individu adalah orang seorang, sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu
diartikan juga sebagai sebagai pribadi (Lysen, Individu dan Masyarakat: 4).
Setiap anak manusia yang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya telah memiliki
potensi. Potensi yang dimaksud menurut penulis seperti yang dikemukakan oleh
Gardner. Ia menyatakan bahwa manusia memiliki tujuh kecerdasan, yaitu
kecerdasan linguistik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan spasial,
kecerdasan kinestik tubuh, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal,
kecerdasan intra personal (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Kecerdasan-kecerdasan ini
yang selanjutnya kita sebut sebagai potensi tentu saja tidak sama dimiliki oleh
setiap individu. Ada individu yang memiliki kelebihan dalam hal kebahasaan,
tetapi kurang pintar dalam hal musik, ada individu yang lebih pintar
matematika, tetapi tidak pintar tentang kebahasaan. Oleh karena itu, setiap
individu tidak boleh diperlakukan sama. Mereka ingin terlihat berbeda dengan
yang lain atau menjadi seperti dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang
identik di muka bumi ini.
Penulis
sangat setuju dengan dimensi keindividualan seperti yang telah diungkapkan
di atas. Memang benar bahwa tidak ada
manusia yang identik dengan manusia lain
di atas permukaan bumi ini. Bahkan, anak yang terlahir kembar pun pada
hakikatnya tidak memiliki karakter yang persis sama. Dengan kata lain,
masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri. Kekhasan yang dimaksud
ini seperti kekhasan dalam cita-cita, cara belajar, cara menghadapi dan
menyelesaikan masalah, cara berinteraksi dengan orang lain. Karena adanya
kekhasan yang dimiliki oleh setiap manusia ini, dalam proses pembelajaran
kekhasan ini tentu harus diperhatikan oleh peserta didik. Tenaga pendidik tidak
dapat boleh memaksakan kehendaknya kepada kepada subjek didik.
Menurut
penulis, memang usaha untuk memperhatikan peserta didik berdasarkan kekhasan
yang dimilikinya merupakan usaha yang baik. Akan tetapi, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana cara mengimplementasikan hal ini dalam
pembelajaran? Sebagai contoh, apa yang harus dilakukan terhadap anak didik yang
tidak suka pelajaran bahasa Indonesia saat materi bahasa Indonesia diajarkan
oleh tenaga pendidik? Apakah anak didik tersebut diminta oleh gurunya untuk
keluar atau diam saja? Pertanyaan seperti ini tampaknya sering dihadapi oleh
peserta didik. Contoh lain disebutkan, misalnya, anak didik memiliki berbagai
gaya belajar. Ada anak didik yang mudah belajar kalau hanya dengan berdiskusi
bersama-teman-teman-teman sekelas, ada anak didik yang mudah belajar hanya
dengan mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya, ada anak didik yang
mudah belajar dengan cara langsung mempraktikkan, ada pula anak didik yang
mudah belajar hanya dengan membaca buku. Bagaimanakah gaya belajar yang
bervariasi ini dapat diatasi oleh pendidik dalam suatu proses pembelajaran? Hal
seperti ini tampaknya perlu untuk dikaji secara spesifik. 3.2 Dimensi
Kesosialan
Setiap
anak yang dilahirkan memiliki potensi sosialitas. Artinya, mereka dikaruniai
benih kemungkinan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul ini,
setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut
sehingga penjara merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh setiap
manusia karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya
dorongan bergaul itu secara mutlak.
3.3
Dimensi Kesusilaan
Susila
berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup hany dengan berbuat
yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung kejahatan
terselubung. Oleh karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki
perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering
digunakan sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket
(persoalan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan
dikatakan tidak beretika dan tidak bermoral, sedangkan tidak sopan diartikan
sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan,
sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
Susila
sebenarnya mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan
erat dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai otonom, nilai
heteronom, nilai keagamaan.
Dalam
kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran
dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Dalam
pelaksanaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.
3.4
Dimensi Keberagamaan
Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk beragama. Beragama merupakan kebutuhan
manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat
bertopang. Manusia memerlukan agama untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan
bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama
melalui proses pendidikan manusia. Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai
dengan perguruan tinggi.
4.
Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
a.
Pengembangan yang utuh
Pengembangan
dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi
hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang
disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. b. Pengembangan
yang Tidak Utuh Pengembangan
yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses
pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk
ditangani.
D.
Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya
Pengertian
sosok manusia Indonesia seutuhnya ini adalah perpaduan antara aspek jasmani dan
rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan, keberagamaan,
antara aspek kognitif, afektif, psikomotor (Tirta Raharja dan Sulo, 2006:25).
Pengertian tentang sosok manusia Indonesia seutuhnya ini tampaknya sejalan
dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003:7).
Kesimpulan
Manusia
sangat jelas berbeda dengan hewan. Hal ini dapat dilihat melalui wujud sifat
hakikat manusia, yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi,
kepemilikan kata hati, moral, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan
hak, kemampuan menghayati kebahagiaan, kemampuan berbahasa. Ditilik dari segi
lain, manusia ternyata memiliki dimensi-dimensi yang meliputi dimensi
individual, sosial, susila, dan agama. Dalam suatu proses pembelajaran, baik
wujud sifat hakikat manusia maupun dimensi-dimensi manusia yang telah dimiliki
oleh setiap peserta didik perlu dikembangkan. Tujuannya tentu saja agar mereka
lebih tahu eksistensi mereka di atas permukaan bumi ini dan agar mereka lebih
tahu bahwa mereka adalah makhluk ciptaan Allah yang pada hakikatnya berbeda
dengan makhluk yang lain sehingga akan terlahir manusia Indonesia seutuhnya
seperti yang diinginkan masyarakat, bangsa, dan agama.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Search
Peduli Syam
Kunjungi Ane di Facebook
Popular Posts
Blog Archive
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment